Siapa yang berhak mengambil hak asuh anak setelah perceraian antara suami dan istri?
Hafiziazmi.com – Banyak orang berpikir perceraian merupakan jalan bagi pasangan suami istri yang sudah tidak bisa bersatu lagi untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal tidaklah demikian, sering kali yang menyebabkan suami istri bercerai justru berbuntut panjang hingga proses perceraian telah selesai.
Hal ini berimbas pada hak asuh anak, mereka masing-masing saling memperebutkan hak asuh atas anak hingga akhirnya salah satu dari mereka tidak mengizinkan untuk bertemu dengan anaknya. Permasalahan yang belum tuntas dan rasa posesif yang berlebihan, takut suatu saat anak akan direbut menjadi salah satu penyebabnya.
Hak Asuh Anak Menurut Islam
Sebenarnya, bagaimana Islam mengatur masalah hak asuh anak bagi pasangan suami istri yang sudah bercerai.
Masalah hak pengasuhan anak bagi suami istri yang bercerai sudah diatur dalam Syariat agama. Ibnu Qudamah menjelaskan, Jika suami istri mengalami perceraian dan meninggalkan anak yang masih kecil, yang berhak menerima hak asuh adalah Ibunya.
Sebab, Ibu adalah orang yang paling dekat kepadanya dan tidak ada yang bisa menyamai kasih sayangnya, tidak ada yang bisa menyamai kedekatannya selain bapaknya.
Menurut Ibnu Taimiyah juga menegaskan kenapa ibu yang lebih berhak mengasuh anaknya. Karena Ibu lebih baik daripada ayah si anak. Jalinan ikatan ibu dengan anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Ibu lebih pengalaman dan lebih sayang.
Dalam konteks ini ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang semestinya mengatur seorang anak yang belum dewasa.
Baca juga: Mengasuh anak orang lain untuk mendapatkan keturunan
Hak Asuh Diambil Ayah, Bagaimana?
Namun pada kenyataannya, tak sedikit kasus perceraian meninggalkan seorang anak masih kecil hak asuh diambil oleh ayah. Bahkan tak sedikit pula seorang ibu justru tidak diberi akses untuk bertemu sang anak, karena sang Ibu dinilai tidak pantas. Bagaimana jika demikian?
Seorang ayah tidak boleh melarang sang ibu bertemu anak kandungnya sendiri setelah perceraian mereka.
Perlu diketahui boleh saja seorang ayah melarang sang ibu untuk mendapatkan hak asuh anak jika sang ibu dalam kondisi berikut.
- Jika sang Ibu seorang fasik.
- suka bermaksiat dan tidak taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
- tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan jika seorang anak hidup bersamanya.
- mengakibatkan anak terbawa pengaruh negatif dari kebiasaan yang sering ia lakukan.
- Hak asuh Ibu juga gugur jika ia non muslimah.
- Hak asuh Ibu juga bisa gugur jika sang Ibu menikah lagi, maka sang ayah boleh mengambil alih hak asuh anaknya.
Tapi jika sang Ibu menikah dengan keluarga dekat mantan suaminya, maka hak asuh ibu terhadap anaknya tetap dibenarkan.
Namun jika semua kondisi itu sudah tidak ada, misalkan wanita yang fasik sudah bertaubat, yang kafir sudah kembali ke Islam dan yang sudah menikah lagi sudah kembali bercerai, seorang ibu boleh mengasuh anaknya kembali.
Perebutan hak asuh anak akibat suami istri bercerai juga pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Abdullah bin Amr menuturkan bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengajukan masalahnya.
Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
“Wahai Rasulullah, anakku ini dahulu akulah yang mengandungnya aku yang menyusui dan memangkunya dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku.”
Mendengar pengaduan wanita itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun menjawab.
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” (Hadis Riwayat Ahmad 2/182)